UKM HIV/AIDS UNIPA Ajak Masyarakat Donor Darah Sukarela

Manokwari - Akhirnya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Universitas Negeri Papua (UNIPA) yang mendapat sokongan dana dari Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) membuat beberapa kegiatan sesuai dengan unit mereka, salah satunya UKM HIV/AIDS.

UKM HIV/AIDS sesuai namanya mendorong para mahasiswa dan masyarakat luas di Manokwari untuk mendonor darah sebagai wujud peduli HIV/AIDS secara sukarela.

Kegiatan ini akan digelar pada Senin, 22 Juni 2009 di sekitar gedung MIPA UNIPA, ini sesuai dengan ajakan dalam lembaran kertas yang para mahasiswa ini dibagikan.

Dengan mengambil tag TOGETHER HIV/AIDS WE CAN BEAT IT para mahasiswa ini pada beberapa hari lalu terus membagikan selebaran tersebut.

UKM-UKM di UNIPA bermunculan setelah DIKTI menyalurkan dana peningkatan aktivitas ektsrakurikuler pada seluruh Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, termasuk UNIPA yang terletak di wilayah paling timur Indonesia, Manokwari.
Baca Selengkapnya Bung..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Supir Angkot Protes Pungli

Manokwari– Puluhan supir angkutan kota (angkot) Jumat (29/5) mendatangi kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Manokwari.
Aksi protes itu adalah buntut dari maraknya praktek pungli, serta sebagai reaksi atas larangan parkir di depan areal pasar tingkat Sanggeng yang dikeluarkan dishub. Aturan itu mengharuskan para supir menaikan dan menurunkan penumpang dalam terminal Sanggeng.

Sementara tak selamanya aturan itu bisa dilaksanakan para supir mengingat tuntutan penumpang bertolak belakang dengan aturan tersebut. Penumpang terkjadang lebih memilih turun di depan pasar tingkat.
“Kalau kami turunkan penumpang di depan pasar tingkat, petugas langsung datang dan minta SIM,” tutur salah satu supir angkot.
Selain itu para supir ini juga keberatan menyusul adanya pungutan liar (pungli) di dalam areal terminal.
Para supir tiba di halaman kantor Dishub Manokwari sekitar pukul 09.30 WIT dan langsung memarkir kendaraannya di halaman kantor tersebut. Setelah berembug sejenak, mereka kemudian masuk ke kantor, dan diterima Kepala Bidang Perhubungan Darat, Dishub Manokwari, Darno, serta Kepala Pos Polisi Sanggeng.
Pembicaraan ini memakan waktu beberapa jam dan berlangsung alot. Setelah dicapai kata sepakat, para supir langsung membubarkan diri dengan tertib.
Darno, yang dikonfirmasi wartawan usai pertemuan itu mengatakan, dicapai kata sepakat bahwa para supir berhak untuk memilih parkir atau tidak di terminal Sanggeng. “Kita kembali ke aturan lama, sambil menunggu aturan baru,” singkat Darno
Soal pungli, kata Darno itu bukan tanggung jawab Dishub. Namun ia menyebut pihaknya serta aparat kepolisian akan menertibkan praktek pungli tersebut. (Geo/m’bun).
Baca Selengkapnya Bung..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Studi Lingkungan Masih Diabaikan

Manokwari– Studi lingkungan yang dilakukan di Provinsi Papua Barat belum berjalan secara sinergis dan terarah. Para pemrakarsa pembangunan masih mengabaikan studi lingkungan semisal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Hal ini diakui Kepala Bapedalda Provinsi Papua Barat, Ir. Jacob Manusaway, M.H, kepada wartawan di Swiss bel Hotel, Jumat (29/5)

Selain persoalan itu, pihak pemerintah juga terbentur dengan belum tersedianya instansi yang secara khusus mengurusi lingkungan di semua daerah di provinsi ini.
Sejauh ini Hanya Fak-Fak, Kota Sorong, Manokwari dan Provinsi Papua Barat, yang memiliki institusi semisal Bapedalda. Sementara di Kabupaten Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Raja Ampat lembaganya masih berstatus sebagai kantor, sementara di Sorong Selatan dan Kaimana, masih digabung dengan instansi lain.
Pembentukan Institusi lingkungan yang berdiri sendiri di daerah sangat diperlukan. Sebab hal ini sangat penting dalam pelaksanaan tugas pembangunan di daerah.
Ke depan, lanjut Jack, ijin membangun perlu menyertakan studi lingkungan sebagai syarat. Hal inilah yang menurutnya tidak Sinergis.
Asisten III Kabupaten Manokwari, J. Paiki, mengatakan, masih banyak usaha atau kegiatan yang mempunyai dampak lingkungan di Manokwari yang menjalankan usahanya yang belum dilengkapi dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Berdasarkan Permen 12/2007 tentang DPPL semua pengusaha dan pimpinan kegiatan yang belum mempunyai DPPL wajib menyusunnya dengan mengajukan permohonan DPPL kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Wali Kota.
Namun, DPPL tidak serta merta membebaskan penanggung jawab suatu usaha atau kegiatan dari sangsi hukum apabila terbukti melakukan pencemaran lingkungan.
Paiki juga sempat mengungkap jika Swiss-Belhotel sedang menyusun DPPL. Hal itu Direspon positif apalagi, pengolahan limbah hotel tersebut kerap dikomplain warga sekitar. Paiki berharap hotel dan aktivitas usaha lain mengikuti langkah pengelola hotel termewah di Manokwari ini. (air/geo/m’bun)
Baca Selengkapnya Bung..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

WahidinPuarada Berhentikan Tujuh PNS

Manokwari– Bupati Fak-Fak, Wahidin Puarada memberhentikan 7 (tujuh) Pegawai Negeri Sipil (PNS) di pemerintahannya karena tercatat sebagai calon anggota legislatif pada pemilu legislatif lalu. Empat PNS yang diberhentikan bekerja sebagai guru dan sisanya adalah staf Pemda Fak – fak.

Hal ini diungkap Kepala Kantor Regional IX Badan Kepegawaian Negara (BKN) Jayapura, Drs. N. D. Mandacan, Jumat (29/5).
Dua PNS diberhentikan 12 September lalu, dan sisanya pada tanggal 30 September. Mereka diberhentikan secara terhormat karena sebelumnya telah mengurus surat pengunduran diri. Langkah pemerintahan Puarada , nilai Nataniel, tepat dan telah sesuai aturan.
“Semua PNS yang mendaftar sebagai caleg harus mengurus surat pengunduran diri,” katanya.
Tujuh PNS tersebut, jamin Nataniel, akan menerima hak-haknya karena mengundurkan diri sesuai prosedur. “Tindakan tegas dari Pemda Fak-Fak seharusnya diikuti daerah lainnya terlepas dari apakah PNS itu lolos atau tidak ke lembaga legislatif,” jelasnya. (air/m’bun)
Baca Selengkapnya Bung..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Saat Sumber Daya Menjadi Kutukan

Manokwari- Korelasi antara eksploitasi sumber daya alam (SDA) dengan penciptaan kesejahteraan rakyat di Papua dan Papua Barat belum terlihat nyata.
Karenanya, pembayaran pendapatan negara oleh perusahaan (kepada pemerintah) yang bergerak pada sektor industri ekstraktif semisal tambang, minyak dan gas sudah saatnya dilakukan secara terbuka dan bertanggungjawab.

Melimpahnya SDA yang dikelola berbagai perusahaan di Indonesia khususnya di Tanah Papua awalnya menjadi harapan. Namun buruknya tata kelola membuat kelimpahan itu berbalik (seolah) menjadi kutukan.
Kondisi ini dibahasakan para praktisi pembangunan dan akademisi sebagai kutukan sumber daya (resource curse) dan keanehan dalam keberlimpahan (Paradox of plenty).
Secara kongkrit, ini terlihat dari tingginya angka kemiskinan, dan pengalaman konflik yang tak luput dari persoalan kendali dan pemafaatan sumber daya.
“Orang Papua tetap miskin dan menderita di atas kekayaannya, ini kontradiksi yang luar biasa,” sebut Sekretaris Eksekutif Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM) Papua, Septer Manufandu dalam seminar dan lokakarya Mendorong Transparansi Pengelolaan Industri Ekstraktif di Papua dan Papua Barat, Selasa (26/5) di Hotel Triton Manokwari.
Menurut Septer, menyandarkan pembangunan daerah pada industri ekstraktif tanpa tata kelola yang benar juga memperburuk sektor ekonomi lainnya, mengurangi derajat akuntabilitas pemerintah terhadap warga, dan pada gilirannya meningkatkan kecenderungan perilaku korupsi.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia ; sebuah koalisi masyarakat sipil untuk transparansi sektor ekstraktif, Riyada Laodengkowe, berpendapat, pembayaran pendapatan (revenue transfer) dari perusahaan industri ekstraktif kepada pemerintah dan pengelolaannya merupakan kunci persoalan ini.
“Persoalan pokok sektor ini adalah tidak adanya akuntabilitas penerimaan negara dari industri ekstraktif,” sebutnya.
Publikasi laporan Global Witness 1999 yang berjudul A Crude Awakening layak menjadi bahan pembelajaran dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara dari sektor Industri Ekstraktif di Indonesia.
Laporan ini mengungkap kompleksitas pembiayaan industri minyak dalam penjarahan aset – aset negara selama 40 tahun periode perang sipil di Angola, dan menyimpulkan bahwa penolakan perusahaan - perusahaan minyak besar untuk mengumumkan penerimaan negara yang mereka bayar, membantu penyalahgunaan pendapatan negara dari minyak yang dilakukan oleh elit negara itu.
Laporan tersebut ditutup dengan sebuah tuntutan agar perusahaan – perusahaan minyak di Angola mengumumkan apa yang mereka bayar kepada pemerintah.
“Kita bisa berkilah bahwa Indonesia tak seburuk Angola. Tapi persoalannya tetap sama ; tak ada transparansi. Sehingga dari sudut pandang apapun, transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif secara umum berikut aliran pendapatan negara dari sektor ini tak hanya relevan, tapi juga mendesak,” urai Riyada.

Mekanisme
Secara tehnis, model transparansi dan akuntabilitas tersebut (oleh perusahaan swasta nasional, internasional serta juga BUMN dan BUMD) dilakukan dengan membuka data semua jenis pembayaran kepada pemerintah di setiap tingkatan, setiap tahun. Misalnya pajak, royalti, bonus, bagi hasil, fee dan sebagainya.
Sementara pemerintah melakukannya dengan mensyaratkan dibukanya pembayaran oleh tiap perusahaan, mengumumkan berapa penerimaan dari setiap perusahaan dengan terperinci, mengadakan audit secara independen atas laporan versi perusahaan dan pemerintah dengan standar Internasional khususnya Extractive Industries Transparency Initiative (EITI).
Pemerintah pun mesti membuat mekanisme dan proses anggaran yang terbuka dan partisipatif di seluruh level pemerintahan.
Sementara Lembaga – lembaga keuangan multilateral termasuk Bank Dunia, IMF, SDB, Export Credit Agencies dan bank – bank swasta penting untuk mensyaratkan perusahaan industri ekstraktif agar terlibat dalam upaya untuk mendorong tata kelola yang ideal itu. “Hal itu bisa dijadikan prasyarat bagi skema pembiayaan yang mereka danai,” pungkas Riyada.
Kepala Bidang Produksi Minyak Bumi Kedeputian Bidang Koordinasi ESDM dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Ir Edward Sibarani, MBA mengatakan, pemerintah telah membentuk sebuah tim yang menggodok draft peraturan presiden tentang transparansi pendapatan negara yang diperoleh dari industri ekstraktif.
“Mudah – mudahan perpresnya selesai dalam waktu dekat, dan bisa diserahkan kepada pemerintahan yang baru, usai Pilpres. Peraturan itu akan difokuskan pada sektor migas dan tambang mineral,” jelasnya. (m’bun)
Baca Selengkapnya Bung..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Industri Ekstraktif

Berkelit Dari Kutukan Sumber Daya

Selama dua hari (26-28 mei 2009) Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dan Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM) Papua, menggelar seminar dan lokakarya “Mendorong Transparansi Industri Ekstraktif di Papua Barat”, di Hotel Triton Manokwari. Kegiatan itu dihadiri puluhan peserta berlatar belakang aktivis LSM, akademisi, jurnalis, masyarakat adat, wakil pemerintah dan perusahaan yang bergerak pada sektor industri ekstraktif. Apa saja yang dibahas dalam (dan rumusan yang dihasilkan dari) forum ini?
oleh Patrick Barumbun Tandirerung

SEMINAR DAN LOKAKARYA INI digagas dari sebuah kegelisahaan (tepatnya kesadaran) tentang paradoks yang terjadi di Tanah Papua dan juga di belahan nusantara yang lain semisal Aceh dan Riau ; tempat yang begitu kaya akan sumber daya namun memiliki sejarah yang panjang tentang konflik - yang salah satunya diakibatkan oleh tata kelola SDA yang buruk dan pertentangan soal kendali pengelolaan SDA. Dan juga tingginya angka kemiskinan.
Keanehan ini dalam kajian akademik maupun dalam perspektif para praktisi pembangunan, diistilahkan sebagai “Kutukan Sumber Daya” (resoursce curse) atau “Keanehan Dalam Keberlimpahan” (paradox of plenty). Pembahasan soal tema ini terasa lebih “berisi” saat wakil dari Extractive Industri Tranparency Initiative (EITI), David Brown mengulasnya dalam sesi bedah buku :Berkelit Dari Kutukan Sumber Daya (Escaping Resource Curse) suntingan Macartan Humphreys, Jeffrey Sachs dan Joseph E. Stiglitz.
Di Indonesia, keanehan terlihat misalnya di Aceh dan Papua. Dua daerah ini tercatat sebagai rangking satu dan nomor tiga dalam tingkat pendapatan daerah (karena SDA-nya), namun berada di rangking satu dan empat dalam kategori provinsi termiskin di Nusantara. Kementerian koordinator Kesra juga menempatkan daerah ini sebagai provinsi terburuk dalam hal pembangunan manusia.
Hal yang sama terjadi di Riau, yang kaya dalam hal cadangan minyak. Sepanjang tahun 2002 – 2004, peningkatan daerah itu meningkat hingga 10.32 persen namun warganya 22,9 persen hidup di bawah garis kemiskinan.
“Bila uraian ini diperpanjang ke daerah – daerah penghasil lainnya, hanya akan menunjukkan statistik yang kian menguatirkan terutama bila dilihat dari belanja dan peningkatan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan,” kata Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Riyada Laodengkowe.
Menurut Ridaya, persoalan kutukan sumber daya terletak pada dua masalah pokok yakni pembayaran pendapatan (revenue Transfer) dari perusahaan – perusahaan industri ekstraktif kepada pemerintah dan pengelolaannya. “Selama ini yang muncul adalah mitos bahwa Industri ekstraktif itu rumit. Padahal yang terjadi adalah tak adanya transparansi,” sebut Riyada
Jika spektrum wilayah kutukan diperluas, ternyata kutukan serupa terlihat misalnya di Afrika, Asia Tengah, maupun di Amerika Latin. Dengan demikian, korelasi antara eksploitasi SDA dengan penciptaan kesejahteraan rakyat di belum terlihat nyata. Kondisi inilah yang mendapat sorotan kritis dari para peserta selama lokakarya ini berlangsung. Tentu saja sikap itu diarahkan pada kehadiran dan aktivitas perusahaan ekstraktif di Tanah Papua, terutama perusahaan yang bergerak pada sektor tambang mineral, migas dan kehutanan.
“Orang Papua tetap miskin dan menderita di atas kekayaannya, ini kontradiksi yang luar biasa,” sebut Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua, Septer Manufandu, pada pembukaan seminar.
Menurut Septer, menyandarkan pembangunan daerah (di Tanah Papua) pada industri ekstraktif tanpa tata kelola yang benar juga memperburuk sektor ekonomi lainnya, mengurangi derajat akuntabilitas pemerintah terhadap warga, dan pada gilirannya meningkatkan kecenderungan perilaku korupsi.

Berkelit Dari Kutuk
Lalu cukupkah mengutuk kutukan itu?? Kalangan gerakan masyarakat sipil (LSM) dan agen pembangunan internasional, sebetulnya belakangan ini kian gencar mendorong dan mempromosikan berbagai upaya untuk berkelit dari kutukan sumberdaya. Satu diantaranya adalah EITI, yakni sebuah upaya menjalankan transparansi secara partisipatif dalam pengelolaan sumber industri ekstraktif.
EITI memfasilitasi dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan industri ekstraktif, melalui keterlibatan masyarakat sipil, pemerintah dan kalangan dunia usaha. Terutama untuk memperkuat masyarakat sipil dan pemerintah yang masih lemah dalam mengikuti dinamika sektor industri ekstraktif.
Intensifnya dorongan dari kalangan masyarakat sipil setidaknya telah menggugah pemerintah pusat untuk mengadopsi EITI dalam rancangan peraturan presiden tentang transparansi pendapatan negara yang diperoleh dari industri ekstraktif.
Menurut Kepala Bidang Produksi Minyak Bumi Kedeputian Bidang Koordinasi ESDM dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Ir Edward Sibarani, MBA, pemerintah telah membentuk sebuah tim yang menggodok rancangan kebijakan itu.
“Mudah – mudahan perpresnya selesai dalam waktu dekat, dan bisa diserahkan kepada pemerintahan yang baru, usai Pilpres. Peraturan itu akan difokuskan pada sektor migas dan tambang mineral,” jelasnya dalam seminar ini
Septer Manufandu menilai, kebijakan pada level Internasional dan nasional saja tak cukup. Apalagi Perpres yang sedang disiapkan tersebut tak mencakup seluruh rantai nilai dan sektor industri ekstraktif, sebut saja sektor kehutanan. “Aliran penerimaan negara dari sektor kehutanan juga sangat layak untuk dipertanyakan,” sambung Ridaya membenarkan.

Upaya Pararel

Sewajarnya, upaya pararel soal transparansi dan akuntabilitas ini, dilakukan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota di Tanah Papua ,mengingat, selain menyangkut hak – hak pemerintah daerah dan masyarakat setempat, pemerintah daerah juga (misalnya) memiliki kewenangan memberikan kuasa pertambangan.
“Papua dan Papua Barat dengan kekayaannya dalam sumber daya minyak, gas dan mineral adalah suatu daerah yang layak diprioritaskan untuk membumikan gagasan seperti EITI itu,” jelas Septer dalam jumpa pers usai kegiatan ini, Kamis sore (28/5)
Dalam konteks Papua, otonomi khusus adalah paradigma pembangunan baru. Sehingga menjadi penting bagi gubernur di dua provinsi (Papua dan Papua Barat), yang mengikatkan diri pada “Komitmen Dua Tapi Satu – Satu Tapi Dua”, mengambil inisiatif dalam menciptakan transparansi khususnya pada sektor industri ekstraktif, dengan menggunakan instrumen otsus terutama melalui perdasi dan perdasus. “Saat ini politicalll will dari pemerintah menjadi penting agar tak ada lagi image bahwa otsus gagal,” kata Septer.
Rumusan pokok pikiran dari forum ini dituangkan dalam tiga butir rekomendasi diantaranya, Pertama, setiap aktivitas eksploitasi sda terutama ekstraktif harus melibatkan masyarakat adat dalam seluruh pentahapan dialog yang partisipatif. Kedua, kesepahaman untuk membangun jaringan advokasi dalam mendorong transparansi pengelolaan industri ekstraktif di Papua Barat, dan Terakhir, peserta bersepakat untuk mendorong lahirnya mekanisme yang transparan dan akuntable dalam tata kelola sumber daya ekstraktif di Papua Barat. ***



Baca Selengkapnya Bung..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Free Blogger Template | VentaSalud.com